Tata Kelola Hukum Berkeadilan

Penulis: Ryan Renwarin

Program “Forum Selosowan” SDGs UB yang tayang pada Selasa, 28 Februari 2023 yang lalu, menghadirkan seorang tokoh yang berprofesi dalam dunia praktisi hukum di Indonesia. Narasumber yang dihadirkan pada kesempatan itu adalah Abd.Aziz, S.H., S.Pd.I., M.Pd., Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK), Mediator Nasional Lisensi Mahkamah Agung (MA), Founder & Owner dan Advokat Firma Hukum PROGRESIF LAW. Dengan Siti Nur Anisa sebagai host, program pada hari itu berlangsung dalam sebuah pembicaraan dengan tema “Tata Kelola Hukum Berkeadilan.”

Podcast dimulai dengan pertanyaan, “Apa pengertian dari hukum berkeadilan?” Mas Aziz menjelaskan bahwa berbicara mengenai hukum berkeadilan berarti menjelaskan tentang substansi dari suatu hukum, di mana hukum itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat dan martabat manusia. Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia tersebut menjadi suatu kepentingan keadilan yang dengannya hukum dikelola dan dijalankan untuk menciptakan keteraturan yang berkesinambungan agar kehidupan manusia dapat berjalan dengan tertib, sehingga tercipta keamanan, ketenteraman, dan kedamaian dalam hidup manusia secara menyeluruh.

Berkenaan dengan pengertian hukum berkeadilan, sering kali istilah “Equality Before the Law” mencuat pada proses-proses penegakan hukum. Secara sederhana, equality before the law dapat diartikan sebagai asas yang memandang setiap manusia sama dan setara di hadapan hukum.

“Jadi sama, di mana di muka hukum jabatannya apa pun, keturunan siapa pun, bangsawan atau non-bangsawan, proletar atau justru orang yang borjuis, dan seterusnya itu harus diperlakukan sama sesuai kesalahan yang melekat kepada dia. Kalau itu diperlakukan tidak sama, justru di situ merobek esensi equil itu,” jelas Maz Aziz.  

Sistem tata kelola hukum merupakan suatu hal yang urgent untuk diperhatikan apabila ingin mewujudkan hukum berkeadilan. Tentunya, sudah menjadi sebuah keharusan bahwa pengelolaan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum untuk mengikuti prosedural pelaksanaan hukum yang telah diatur oleh undang-undang. Namun, idealisme tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam pengelolaan hukum di Indonesia, di mana banyak kasus-kasus yang diproses secara hukum, tetapi penanganannya tidak sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan kondisi ini, Mas Aziz menuturkan, “Kita melihat hukum itu kemudian hanya menjadi instrumen, dia bisa tajam ke mana yang ia suka.”

Di situlah kemudian yang menjadi alasan yang kuat agar kontrol sosial senantiasa hadir dalam setiap pelaksanaan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum. Masyarakat harus senantiasa memonitoring proses-proses penegakan hukum yang dijalankan oleh pihak-pihak penegak hukum agar sesuai dengan prosedur, serta sebagai bentuk partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum. Jadi, masyarakat bukan diposisikan sebagai objek dari penegakan hukum, tetapi sebagai subjek yang menegakkan hukum.

Suatu permasalahan yang kerap kali muncul ketika terdapat suatu pihak di masyarakat yang berupaya untuk bertindak sebagai subjek hukum. Fenomena yang sering terjadi menunjukkan seseorang atau kelompok yang berupaya untuk melaporkan suatu tindak kejahatan yang melanggar hukum, justru dilaporkan balik oleh pihak yang dikabarkan sebagai pelaku kejahatan dengan dalih pelanggaran hukum juga. Keadaan seperti ini terjadi karena di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terdapat pasal-pasal yang diistilahkan oleh para ahli dengan sebutan “Pasal Karet”. Istilah pasal karet merujuk kepada pasal-pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Pasal-pasal berlaku yang dianggap sebagai Pasal Karet di antaranya adalah Pencemaran Nama Baik, Penistaan Agama, Undang-undang Lalu Lintas, dan UU ITE.

Fenomena-fenomena yang disebabkan oleh pasal karet tersebut merupakan suatu gejala yang dapat mengganggu proses hukum. Kehadiran pasal-pasal karet di dalam undang-undang juga dapat membahayakan posisi masyarakat yang berupaya untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum di Indonesia. Memang menjadi suatu persoalan bahwa masih terdapat bagian-bagian dari undang-undang yang berlaku di Indonesia yang belum sesuai dengan paradigma hukum progresif. Sebagaimana paradigma hukum progresif yang mengasumsikan bahwa hukum dibuat untuk manusia agar dapat mencapai ketertiban, keteraturan, dan kesejahteraan hidup, maka dapat dikatakan bahwa pasal-pasal karet yang ada dalam undang-undang tidak sesuai dengan asumsi tersebut karena berpotensi mengganggu proses penegakan hukum itu sendiri.

Oleh karena itu, menjadi hal yang penting untuk memastikan agar keberadaan hukum benar-benar dapat menciptakan rasa keadilan di masyarakat. Di mana hukum selalu menjadi panglima keadilan, bukan suatu instrumen yang digunakan secara subjektif untuk melukai orang lain, serta bukan hukum yang ditegakkan dengan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

“Jadi, tata kelola hukum yang berkeadilan itu adalah bagaimana menata hukum itu betul-betul hadir dan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan yang dirasakan masyarakat ini adalah tanda bahwa hukum tidak absen. Hukum hadir yang membuat keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat, siapa pun itu, termasuk kaum proletar, termasuk kaum miskin kota. Kalau hukum sudah dapat dirasakan oleh semua yang disebut tadi, maka sesungguhnya kedamaian hidup, keteraturan hidup yang berkesinambungan dalam berbangsa dan bernegara itu akan tercapai” ujar Mas Aziz.

Leave a Reply